BINCAR HASIBUAN BLOG
Rabu, 18 Januari 2012
Jumat, 16 Desember 2011
KANKER ITU AKHIRNYA MERENGGUT NYAWA ISTRIKU
Penyakit kanker yang menggrogoti istriku, Membawa petaka yang tak bisa kulupakan dalam hidupku. Meski Segala upaya telah kulakukan, akhirnya kandas, dia pun (istriku) harus tunduk menjalani takdirnya, kembali menghadap Sang Khalik Ilahi Rabbi untuk selamanya. Kini aku sering larut dalam duka merenungi diri, dan terpaksa mengurusi segalanya di rumah mulai dari pekerjaan hulu sampai hilir. Kepedihan yang kurasakan terpaksa kucurhat di sini, semoga dapat mengurangi derita nestapa ini setelah ditinggal pendamping setia, istriku tercinta ( Leli Gusti).
Latar belakang
Cobaan berat yang menimpa kami terjadi pada Januari 2009. berawal dari keinginannya yang sangat untuk mendapatkan momongan. Sudah 8 tahun usia perkawinan kami belum juga nampak tanda kehamilannya, kendati berbagai obat penyubur telah banyak diminumnya. Sering kunasehati agar berhenti minum obat, sembari mencoba meyakinkannya bahwa kasih sayangku padanya selamanya tetap utuh, dan aku tidak pernah mengeluhkan soal itu, karena aku sadar ini adalah kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa yang mesti kami terima.
Cobaan berat yang menimpa kami terjadi pada Januari 2009. berawal dari keinginannya yang sangat untuk mendapatkan momongan. Sudah 8 tahun usia perkawinan kami belum juga nampak tanda kehamilannya, kendati berbagai obat penyubur telah banyak diminumnya. Sering kunasehati agar berhenti minum obat, sembari mencoba meyakinkannya bahwa kasih sayangku padanya selamanya tetap utuh, dan aku tidak pernah mengeluhkan soal itu, karena aku sadar ini adalah kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa yang mesti kami terima.
Awal penyakit
Pada awal Pebruari 2009, istriku mengeluh merasakan ada sesuatu benjolan di perutnya. Kuperiksakan pada dokter spesialis kandungan di Medan, hasilnya di dinding rahimnya ada kista coklat yang harus segera dioperasi.
Dengan perasaan yang kalut dan ketakutan yang sangat akhirnya istriku bersedia dioperasi pada tanggal 25 Pebruari 2009 di RSU Pirngadi Medan. Yang sangat kusesalkan dokter yang membedahnya ketika itu tidak secara tegas mengatakan bahwa penyakit yang dideritanya ini ganas. Justru dokter itu bersikukuh adalah sejenis yang jinak. Apalagi setelah kami menuruti anjurannya untuk minum pil 1 kali/bulan dengan harga yang relatif mahal. Katanya pil itu akan membunuh akar-akarnya dan tidak akan kambuh lagi.
Apa dikata, selang lima bulan benjolan di perutnya muncul lagi. Kami segera memeriksakan kepada dokter yang sama. Katanya benar sudah kambuh lagi, Sarannya harus dioperasi lagi. Kesal melihatnya, kamipun mencoba dengan berbagai pengobatan alternatif di Medan dan Binjai. Selama lebih tiga bulan dalam pengobatan alternatif di berbagai tempat, namun perutnya semakin membesar, dan istriku mulai muntah-muntah, badannya terus merasa kepanasan, dan tidak ada nafsu makan. Lalu saya bawa upname ke RSU Djulham Binjai karena kami memang tinggal di Binjai. Selama tiga hari di sana tidak ada perubahan. Akhirnya saya putuskan membawanya ke Penang (Rumah Sakit Lam Wah Ee) pada tanggal 1 Maret 2010.
Sesampai di sana langsung diperiksa oleh dokter paru, dan saat itu juga diopersi darurat. Sebuah selang dimasukkan di bawah rusuk kanannya untuk menyedot cairan yang selama ini telah membuatnya sulit bernafas. Cairan kuning kemerahan yang keluar dari selang itu ditampung dalam sebuh wadah. Setelah 12 hari cairan itu baru habis keluar dan banyaknya lebih dari enam liter . Betapa pilunya hatiku dengan penuh linangan air mata melihat penderitaan istriku yang terkulai tiada berdaya.Apalagi kalau sudah jam 9 malam, terpaksa kutinggalkan sendirian di ruangan. Karena di sana tidak diperbolehkan laki-laki tidur ruangan itu meskipun suaminya sendiri. Maka setiap jam tiga malam aku bangun dan memasak sarapan untuknya di aprtemen dan jam empat subuh sbelum mereka para perawat membersihkan ruangan sengaja saya datang dan menemaninya ke kamar mandi. Hati siapa yang tidak iba melihat kondisi istrinya dalam penderitaan seperti itu.
Namun penderitaan kami belum sampai belum berakhir sampai di situ. Tidak lama kemudian istriku diperiksa oleh dokter kandungan. Katanya ia harus dioperasi besar dengan mengangkat seluruh rahimnya. Demi keselamatan nyawanya hanya itu cara yang bisa ditempuh. Istri saya bujuk agar mengikuti rekomendasi dr. Dalam kondisi fisik yang lemah iapun saya antar menuju ruang operasi. Saya yang menungguinya hampir putus asa karena sudah berlangsung lima jam operasi, belum juga keluar, apalagi tidak ada yang menemani bertukar pikiran, dan haripun sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Eh taunya istriku sudah berada di Ruang ICU, ketika saya masuk, Ya Allah, air mataku tak terbendung lagi melihat berbagai selang yang menempel di mulut dan hidungnya. Sesekali ku perhatikan monitor sembari mendengarkan bunyinya yang membuat ku sangat sedih. Selama tiga hari tiga malam istriku harus di rawat di ICU. Karena perlu tambah darah terpaksa pukul 2 tengah malam itu saya turun ke lantai bawah untuk menandatangani berita acara persetujuan tambah darah. Lengkaplah sudah penderitaan yang kurasakan.
Eh taunya istriku sudah berada di Ruang ICU, ketika saya masuk, Ya Allah, air mataku tak terbendung lagi melihat berbagai selang yang menempel di mulut dan hidungnya. Sesekali ku perhatikan monitor sembari mendengarkan bunyinya yang membuat ku sangat sedih. Selama tiga hari tiga malam istriku harus di rawat di ICU. Karena perlu tambah darah terpaksa pukul 2 tengah malam itu saya turun ke lantai bawah untuk menandatangani berita acara persetujuan tambah darah. Lengkaplah sudah penderitaan yang kurasakan.
Pulang ke Medan
Mengingat kami sudah enam belas hari berada di Ramah Sakit LamWah Ee Penang saya mohon izin pulang ke Medan. Semula dokter kandungan yang membedahnya tidak meingizinkan kami pulang karena kondisi fisiknya yang masih lemah. Tapi setelah saya desak akhirnya dibolehkan dengan satu syarat paling lambat setelah 21 hari harus kembali ke Penang untuk tindak lanjut pengobatan kemoterapi. Setelah mengemasi segalanya, kami bergegas meninggalkan pulau penang yang penuh duka. Pelan-pelan kudorong istriku dengan kursi roda sambil memperhatikan keadaan beberapa selang yang masih menempel di tubuhnya.
Bolak-balik ke Penang
Tepat hari ke- 21, kami berangkat lagi ke Penang untuk pengobatan kemoterapi. Lagi-lagi hatiku tersayat melihat penderitaan istriku yang tak ada habisnya setiap usai dikemo. Sebagai efek samping, ia pasti merasakan muntah-muntah, pening, demam, Namun ia tetap tabah menghadapinya. Belum lagi setelah beberapa kali kemo, rambutnya pun mulai rontok, saya perhatikan tangannya seperti yang hangus terbakar. Sungguh penderitaan yang tiada tara yang ia rasakan. Begitulah kemoterapi yang dijalaninya, kami tidak pernah terlambat dari jadwal hari H yang ditentukan dalam jangka 21 hari berikutnya. Dan ini berlangsung selama enam kali kemoterapi.
Chek-up kembal
Selang sebulan dari kemo terakhir tepatnya 20 Oktober 2010 saya berangkat lagi membawa istri saya untuk chekup ke Penang. Hasilnya sangat memilukan. Kata dokter kemo, masih ada potensi bibit. Lalu saya tanya apakah masih ada obat lain. Jawaban dokter “tidak ada lagi”. Mendengar itu istriku menangis dan sedih sekali, kucoba meyakinkannya, pasti ada jalan keluar kalau Tuhan mau memberi. Akhirnya kami pulang dengan perasaan hampa betapa malangnya nasib kami.
Kambuh lagi
Benar tiga bulan kemudian pertengahan januari 2011 benjolan di perutnya muncul lagi. Pada hal sewaktu operasi di Penang rahimnya sudah diangkat semua. Mulanya saya tawarkan ke rumah sakit., tapi stri saya menolak. Saya bawa ke pengobatan alternatif di Tandem Binjai. Lalu Sang Tabib mengoperasinya secara gaib pada tanggal 16 Januari 2011. Dengan meminum ramuan yang direbus, alhamdulillah dalam beberapa minggu, perasaan istri saya sudah enak, dan tidak lagi ada keluhan. Kelihatan badannya sehat tambah gemuk dan saya sangat bahagia sekali ketika itu. "Mudah-mudahan ini serasi dan terakhir " begitu aku menimpali dan memberi semangat padanya di saat mengantarnya ke sekolah suatu ketika. Diapun kembali bertugas mengajar di salah satu SD negeri di Kota Binjai.
Malang tak dapat ditolak.
Seminggu sebelum Ramadan 1423 H (Agustus 2011) , istri saya jatuh sakit, badannya panas, tenaga tidak ada, demam terus menerus selama seminggu. Hal ini terpaksa kami hijrah ke Medan menompang di rumah kakak ipar (kakak kandung) istri saya. Dari sanalah kami berobat jalan ke dokter spesialis. Hasil laboratorium menunjukkan bahwa kanker telah mulai merambah ke hatinya. Hal ini membuat dokter itu belum bersedia memberikan resep sebelum diobati hatinya. Lalu saya coba membawanya berobat ke dokter spesialis penyakit dalam. Selam tiga kali kunjungan hasil pengobatan tidak ada tanda-tanda kesembuhan. Saat itu, dokter menarik saya ke sudut ruangan sembari membisikkan bahwa penyakit istri saya tidak bisa lagi diobati kecuali ada mukzizat. Mendengarkan itu seketika badanku lemas dan linglung serasa gelap dunia ini. Ketika istriku bertanya “apa kata dokter?’ aku tak bisa menjawab, sesaat kucoba menenangkan diri, dan menyembunyikan linangan air mataku kemudian meyakinkannya agar terus makan obat.
Hari lebaran 1432 H pun tiba orang hilir mudik, semua telah pulang kampung tinggal kami berdua di rumah. Aku dengan setia mendampinginya setiap saat, tapi hatiku miris sekali melihat kondisi tubuhnya yang kian hari kian memburuk. Kalau sudah demikian maka air mataku tumpah tak terbendung seketika melihat memelas dan mengeluhkan sakitnya. Betapa berat penderitaannya Sesekali kupeluk dia dengan penuh kasih sayang, kucoba memasak kesukaannya. Tapi apapun makanan yang kusuguhkan tidak bisa lagi ditelannya. Kucoba memancing apa yang menjadi keinginannya, saat itulah dia menangis di pangkuanku sembari minta maaf dan menyampaikan pesan-pesannya yang terakhir. Kami pun sama-sama larut dalam kesedihan sambil menangis berdua.
Selang bebrapa hari, saya dan keluarga terpaksa membawanya ke rumah sakit RSU Pirngadi Medan tepatnya pada tanggal 14 September 2011. Karena kondisinya semakin memburuk dan suaranya tidak lagi kedengaran. Aku tetap bertahan di sampingnya sesuai dengan isyaratnya yang dapat kutangkap darinya, sembari memijit-mijit badannya.
Pada tanggal 16 September 2011 pukul 10.30 diapun menghembuskan nafas terakhir dan pergi untuk selamanya. Dengan hati yang penuh duka kuantarkan istriku kembali ke tempat kelahirannya. Kota Padangsidempuan. Di sanalah dia dikuburkan di samping kuburan mertua (ayah kandungnya) sesuai dengan permintaannya yang terakhir.
Bolak-balik ke Penang
Tepat hari ke- 21, kami berangkat lagi ke Penang untuk pengobatan kemoterapi. Lagi-lagi hatiku tersayat melihat penderitaan istriku yang tak ada habisnya setiap usai dikemo. Sebagai efek samping, ia pasti merasakan muntah-muntah, pening, demam, Namun ia tetap tabah menghadapinya. Belum lagi setelah beberapa kali kemo, rambutnya pun mulai rontok, saya perhatikan tangannya seperti yang hangus terbakar. Sungguh penderitaan yang tiada tara yang ia rasakan. Begitulah kemoterapi yang dijalaninya, kami tidak pernah terlambat dari jadwal hari H yang ditentukan dalam jangka 21 hari berikutnya. Dan ini berlangsung selama enam kali kemoterapi.
Chek-up kembal
Selang sebulan dari kemo terakhir tepatnya 20 Oktober 2010 saya berangkat lagi membawa istri saya untuk chekup ke Penang. Hasilnya sangat memilukan. Kata dokter kemo, masih ada potensi bibit. Lalu saya tanya apakah masih ada obat lain. Jawaban dokter “tidak ada lagi”. Mendengar itu istriku menangis dan sedih sekali, kucoba meyakinkannya, pasti ada jalan keluar kalau Tuhan mau memberi. Akhirnya kami pulang dengan perasaan hampa betapa malangnya nasib kami.
Kambuh lagi
Benar tiga bulan kemudian pertengahan januari 2011 benjolan di perutnya muncul lagi. Pada hal sewaktu operasi di Penang rahimnya sudah diangkat semua. Mulanya saya tawarkan ke rumah sakit., tapi stri saya menolak. Saya bawa ke pengobatan alternatif di Tandem Binjai. Lalu Sang Tabib mengoperasinya secara gaib pada tanggal 16 Januari 2011. Dengan meminum ramuan yang direbus, alhamdulillah dalam beberapa minggu, perasaan istri saya sudah enak, dan tidak lagi ada keluhan. Kelihatan badannya sehat tambah gemuk dan saya sangat bahagia sekali ketika itu. "Mudah-mudahan ini serasi dan terakhir " begitu aku menimpali dan memberi semangat padanya di saat mengantarnya ke sekolah suatu ketika. Diapun kembali bertugas mengajar di salah satu SD negeri di Kota Binjai.
Malang tak dapat ditolak.
Seminggu sebelum Ramadan 1423 H (Agustus 2011) , istri saya jatuh sakit, badannya panas, tenaga tidak ada, demam terus menerus selama seminggu. Hal ini terpaksa kami hijrah ke Medan menompang di rumah kakak ipar (kakak kandung) istri saya. Dari sanalah kami berobat jalan ke dokter spesialis. Hasil laboratorium menunjukkan bahwa kanker telah mulai merambah ke hatinya. Hal ini membuat dokter itu belum bersedia memberikan resep sebelum diobati hatinya. Lalu saya coba membawanya berobat ke dokter spesialis penyakit dalam. Selam tiga kali kunjungan hasil pengobatan tidak ada tanda-tanda kesembuhan. Saat itu, dokter menarik saya ke sudut ruangan sembari membisikkan bahwa penyakit istri saya tidak bisa lagi diobati kecuali ada mukzizat. Mendengarkan itu seketika badanku lemas dan linglung serasa gelap dunia ini. Ketika istriku bertanya “apa kata dokter?’ aku tak bisa menjawab, sesaat kucoba menenangkan diri, dan menyembunyikan linangan air mataku kemudian meyakinkannya agar terus makan obat.
Hari lebaran 1432 H pun tiba orang hilir mudik, semua telah pulang kampung tinggal kami berdua di rumah. Aku dengan setia mendampinginya setiap saat, tapi hatiku miris sekali melihat kondisi tubuhnya yang kian hari kian memburuk. Kalau sudah demikian maka air mataku tumpah tak terbendung seketika melihat memelas dan mengeluhkan sakitnya. Betapa berat penderitaannya Sesekali kupeluk dia dengan penuh kasih sayang, kucoba memasak kesukaannya. Tapi apapun makanan yang kusuguhkan tidak bisa lagi ditelannya. Kucoba memancing apa yang menjadi keinginannya, saat itulah dia menangis di pangkuanku sembari minta maaf dan menyampaikan pesan-pesannya yang terakhir. Kami pun sama-sama larut dalam kesedihan sambil menangis berdua.
Selang bebrapa hari, saya dan keluarga terpaksa membawanya ke rumah sakit RSU Pirngadi Medan tepatnya pada tanggal 14 September 2011. Karena kondisinya semakin memburuk dan suaranya tidak lagi kedengaran. Aku tetap bertahan di sampingnya sesuai dengan isyaratnya yang dapat kutangkap darinya, sembari memijit-mijit badannya.
Pada tanggal 16 September 2011 pukul 10.30 diapun menghembuskan nafas terakhir dan pergi untuk selamanya. Dengan hati yang penuh duka kuantarkan istriku kembali ke tempat kelahirannya. Kota Padangsidempuan. Di sanalah dia dikuburkan di samping kuburan mertua (ayah kandungnya) sesuai dengan permintaannya yang terakhir.
Selamat jalan istriku tercinta, Ya Allah ampuni dosanya, maafkan kesalahannya, jadikan kuburannya taman sorgawi, Amin ya Rabbal Alamin.
Dari suamimu yang belum bisa melupakanmu.....
bincarhsb @gmail.com
Senin, 06 Juni 2011
EUFORIA BERBICARA
Salah satu buah reformasi yang spektakuler adalah euforia berbicara. Setiap saat kita dapat melihat para komentator, dan para pakar berbicara tentang topik apa saja, dan sering kali dialog digelar secara kontroversial dengan berbagai argumentasi yang membuat kita bingung, dan tidak pernah memberikan solusi penyelesaian secara tuntas dalam menyikapi kondisi bangsa yang carut marut.
Berkata-kata dan kemampuan berbicara memang perlu, apalagi di depan publik, dan menjadi sebuah kebutuhan karena kita memiliki fungsi sebagai makhluk sosial dengan kebiasaan berinteraksi antar sesama. Untuk kepentingan itu, berkata-kata adalah sebuah jalan sikap yang harus diambil.
Pada umumnya, orang yang banyak berbicara adalah orang yang lemah kepribadian. Ciri orang intelek menurut Islam yang disebutkan Al-Qur’an adalah orang yang mendengarkan perkataan orang lain (alladziina yastami’unal qaul) dan mengikuti yang baik dari perkataan itu (fayattabiuna ahsanah). Ia adalah orang yang mau mendengarkan dan menganalisis.
Sementara itu, orang pandai yang suka mendengarkan orang lain akan disukai. Tidak sedikit diantara kita lebih siap untuk didengarkan daripada mendengarkan. Ada orang yang mempunyai kebiasaan berbicara dulu, baru berpikir sehingga ketika akan berhenti berbicara, dia tidak menemukan bagaimana caranya berhenti atau akan kesulitan untuk berhenti. Karena itu, diam menunjukkan kekuatan kepribadian seseorang. Kemampuan mendengarkan adalah kekuatan kepribadian yang luar biasa besarnya.
Jika ingin berbicara, sebaiknya kita harus benar-benar yakin bahwa apa yang akan disampaikan adalah sesuatu yang baik dan benar dan sudah dipikirkan. Kurangilah perkataan-perkataan yang muncul secara refleks. Biasakanlah diam atau merenung, maka kita akan menjadi produktif dalam hidup. Diam bukan dalam arti kita sama sekali tidak berbicara, melainkan diam dalam arti hanya berbicara jika ada kebutuhan untuk itu Layak disosialisasikan di sini pesan Nabi Muhammad SAW ."Siapa yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian (kiamat), maka hendaklah ia berkata yang baik, atau (kalau dia tidak sanggup) hendaklah dia diam".
Diam memiliki faedah dan syarat kondisionalnya tersendiri. Yang penting adalah kita mengetahui waktu-waktu yang tepat untuk mengambil diam sebagai sikap kala kita berinteraksi dengan orang lain. Diam bahkan bisa menjadi kebiasaan efektif yang bila diterapkan akan membuat diri kita menjadi lebih produktif. Yaitu dengan membiasakan lebih banyak diam dan mendengar daripada berbicara. Sejarah membuktikan Tokoh sekaliber Mahatma Ghandi dengan Ahimsa-nya (gerakan tidak berbicara) berhasil memerdekakan India. Karenanya untuk mewujudkan karya besar, kita tidak perlu banyak mengumbar kata. Wallohu A'lam bisshawab.
Langganan:
Postingan (Atom)